
Namun dalam menyanyikan dan mendengar sayang-sayang, kita
sering hanya berhenti pada
tahappenikmatan dan keterpesonaan oleh efek
melodious dan puitis yang ditimbulkannya., Keindahannya paling banter memberi
resonansi alam masa lalu dan suasana tertentu pada jiwa. Kita selalu luput
menyingkap makna-makna budaya dibalik eksotisnya sayang-sayang.
Sejatinya sayang-sayang adalah musik ”Hibryd” atau sebuah
pakta persilangan budaya bila ditinjau dari bentuknya yang mutakhir. Dalam
bentuk aslinya kita bisa merujuknya pada alat-alat musik etnik Kacapi dan
sastra lisan Mandar ( Kalinda’da ) yang dilagukan. Disini sayang-sayang masih
berfungsi sebagai Foklore (tradisi
rakyat) yang tersebar secara lisan dan milik kolektiv orang Mandar. Belum
terjadi proses individualisasi dan profesionalisasi.
Pertunjukan dan penyajian sayang-sayang masih dimaksudkan
untuk memberi pesan-pesan religious dan sosial, sekaligus untuk mengkritisi
anomali-anomali budaya dan politik dimasanya. Jadi dalam bentuk aslinya,
sayang-sayang adalah bersifat sakral dan sublim. Pada era individualisasilah ia
mengalami dan mendapatkan wujudnya yang propan, komersil dan kerap memparodikan
teks-teks lama.
Dalam bentuknya yang mutakhir, secara eksplisit dan implisit
nyata ada pengaruh budaya Isalam dan barat pada sayang-sayang. Etnisitas yang
tersisa barangkali hanya pada aspek cita rasa dan syairnya saja.Estetika
sayang-sayang telah ter Islamkan sejak awal transformasinya. Menurut seorang
sarjana besar Islam, Ismail Al Faruki, ada 6 ( enam ) ciri-ciri seni Islam
yakni ; Abstraksi, Struktur modular, Kombinasi Suksessif, Pengulangan Dinamisme
dan Kerumitan Namun tidak semua ciri-ciri seni Islam tersebut mengejawantah
dalam sayang-sayang.
Mungkin yang paling nyata hujamannya pada sayang-sayang
adalah aspek Pengulangan. Dalam sayang-sayang pengulangan2 dengan nada itu-itu
saja sangat dominan. Motif-motif melodi dalam satu bait akan diulang lagi pada
bait berikutnya. Tak ada batasan dalam jumlah bait, tak ada refrain, tak juga
bergagah –gagah dengan variasi nada dan chord.
yang pasti pengaruh estetika Islam sangat kental pada
sayang-sayang. Kalau diuraiakn juga ciri Islamnya yang lain, kita tak cukup
halaman untuk membahasnya.
Pengaruh budaya musik barat adalah yang paling kasat mata
pada sayang-sayang. Sejak kacapi dikudeta oleh guitar sebagai waditra untuk
mengiringi sayang-sayang, maka scala (tangga nada ) pentatonis – scala asli
Mandar – digantikan oleh tangga nada diatonis barat. Penggunaan tangga nada
diatonis pada sayang-sayang memungkinkan warna musik keroncong mendominasi
sayang-sayang dengan cengkok-cengkok dan alur nadanya yang khas. Susunan
dimulai dari nada Tonika – Bridge – sub Dominan – tonika – dominan lalau
kembali ke tonika lagi.
Gitar adalah waditra produk Barat ( Portugis/ Spanyol ).
Mula-mula dibawa dan disebarkan oleh orang-orang Portugis ke pesisir-pesisir
nusantara untuk memperkokoh dominasinya dibidang budaya. Namun kapan persisnya
masuk ke Mandar belum terungkap secara pasti. Pemamfaatannya untuk mengiringi
sayang-sayang adalah dengan penggunaan teknik Los Quin. Kemungkinan besar gaya
permainan Los Quin ini dibawa oleh seniman-seniman Mandar yang tinggal di
Makassar pada thn 50 an.
Mengenai Islamisasi sayang-sayang, kita bisa merujuknya pada
cara dan strategi penyebar- penyebar Islam di Nusantara yang kerap menggunakan
seni dalam berdakwah. Di Jawa para Wali berdakwah dengan gamelan dan wayang,
lalu memasukkan unsur-unsur Islam kedalamnya. Mantra-mantra diganti dengan
do’a. Di Sumatera para penyebar Islam menggunakan syair-syair, tari Zapin dan
lain-lain. Di Mandar, sayang-sayang selalu diawali dengan Basmallah. Syairnyapun
banyak yang bernuansa Islam( Kalinda’da Isagala ). Namun akhir-akhir ini telah
banyak bermuatan syair percintaan yang malu-malu kucing. Hal ini disebabkan
oleh komersialisasi yang akut.
Sampai disni kita lihat betapa besar harapan tapi sedikit
yang kita yang punya pada sayang-sayang. Kita hanya bermain dipermukaan, tidak
didasarnya. Lalu haruskah kita berhenti bersayang-sayang dan larut dalam
kesedihan?.
Bersikap sentimentil atas realitas ini tiada berguna dan
hanya membuang-buang waktu. Yang terbaik adalah mencoba memperkaya dan
memadatkan sayang-sayang pada aspek etnisitasnya. Caranya dengan mengkaryakan
alat-alat musik etnik kita yang selama ini terabaikan seperti, Gandrang, Gong,
Keke,Jarumbing, Calong dan lain-lain. Dengan kata lain, kita harus melakukan
orkestrasi pada sayang-sayang seperti suku Jawa yang telah mengorkestrasi
waditra-waditra etniknya menjadi Gamelan. Gamelan yang awalnya hanya beberapa
buah genta dan bonang kini menjadi begitu sopisticated dan menjadi World Music.
Bertahan pada sifat minimalis sayang-sayang yang terdiri
dari dua gitar dan satu coke, hanya akan memperpanjang kesedihan karna watak
asingnya yang kental. Mari kita tambah porsi etniknya dan sayang-sayang akan
menjadi milik dan kebanggaan kita selamanya.
Dengan kredo ”Kembali ke Akar ”, kaum negro Amerika telah
mengembalikan Jazz ke Afrika. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama,
mengembalikan sayang-sayang ke Mandar. Ini adalah perjalanan pulang yang
Progressive.