Walaupun daerah ini masih terpencil dan
belum dikenal oleh seluruh pelosok negeri Indonesia, tetapi Mandar
memiliki sejarah yang tak kala melegendanya dengan sejarah-sejarah
negeri kita di daerah lain. Mandar juga memiliki beberapa persamaan
karakteristik dengan saudaranya yaitu Bugis, tetapi tetap saja
perbedaan diantara keduanya sangatlah jelas. Berikut kami akan
memperkenalkan tanah yang kami cintai ini kepada Anak Bangsa Indonesia
yang lain:
memperkenalkan tanah yang kami cintai ini kepada Anak Bangsa Indonesia
yang lain:
Asal usul nama Mandar
Mandar
adalah suatu daerah di Propinsi Sulawesi Barat, suku bangsa yang
mayoritas mendiami daerah Sulawesi Barat, nama bahasa daerah, dan nama
sebuah sungai di Kabupaten Polewali Mandar. Daerah Mandar meliputi lima
kabupaten yaitu Kab.Polewali Mandar, Kab.Majene, Kab.Mamuju, Kab.Mamasa
dan Kab.Mamuju Utara. Luasnya sekitar 1.105.761 km2. Beberapa pendapat tentang asal mula munculnya istilah Mandar sebagai berikut :
1. Dari Kata mandar yang berarti ‘sungai’. Penduduk
di Kec.Tinambung, Kec.Limboro, dan Kec.Allu sepanjang Sungai
Mandar(sekarang) apabila mau “turun” mandi di sungai mengatakan Na naungaq mandoeq di lembang (Saya akan “turun”/pergi mandi di sungai),
2. Dari kata maqdara.
Pendapat ini, didasarkan pada sifat orang Mandar yang salah sedikit
saja mereka tidak segan-segan bertikam yang akibatnya bermandi darah.
Orang yang memberi nama ini ialah orang yang berasal dari luar daerah
Mandar,
3. Dari kata mandaraq yang berarti bersinar, bercahaya,
4. Dari kata mandaq yang artinya kuat,
5. Dari kata maqandar atau meander ‘mengantar’,
boleh juga berarti ‘mengiring’. Pendapat ini berdasarkan cerita rakyat
tentang suatu kejadian di suatu daerah Mandar (yang sebelum bernama
Mandar) di zaman lampau. Dikisahkan, sebuah rakit yang berisi
persumbahan kepada Dewata dari hulu sungai (yang sekarang bernama Sungai
Mandar) menuju muara. Seluruh rakyat berbaris dipinggir sebelah
menyebelah sungai untuk maqandar (mengantar) rakit itu sampai ke muara. Setiba di muara, manusia pengantar itu mettambung(bertumpuk) di sebelah menyebelah sungai menyebabkan tempat di muara sungai itu bernama Tambung yang kemudian menjadi sebuah kampung. Kira-kira berjarak setengah kilometer dari Tambung
arah kehulu, ujung barisan pengantar berbalik berputar untuk kembali
ke hulu sungai. Tempat berbalik/berputar kembali, itu pun bernama Paqgiling (dari kata giling atau putar) yang kemudian menjadi sebuah kampung.
6. Dari kata Dharaman (bahasa Hindu/Sansekerta). Terdiri dari dua akar kata, yaitu man+dhar berasal dari bentuk kata dharaman yang berarti ’mempunyai penduduk’. Akhirnya terjadi pertukaran dan
perubahan pengucapan menjadi Mandar.
perubahan pengucapan menjadi Mandar.
Mandar di masa penjajahan Belanda
Belanda
sangat mempengaruhi sejarah Indonesia pada zaman penjajahan karna
Belanda-lah yang menjajah Indonesia paling lama yaitu sekitar 300 tahun,
Belanda juga menindas rakyat Indonesia termasuk juga Mandar dengan
kejam walaupun tidak sekejam Jepang. Berikut ini saya akan menggambarkan
kronologi perlawanan-perlawanan rakyat Mandar terhadap penjajah
Belanda :
Perlawanan dan protes keras H.Maata,
- Terjadi pada tahun 1932,
H.Maata,
Kepala Desa Pambusuang kepada penjajah Belanda, atas perlakuan
mempekerjakan langsung penduduk desanya membuat jalan di Kunyi, tanpa
izinnya sebagai Kepala Desa. Perlawanan kecil, tetapi menunjukkan
perlawanan menentang Belanda telah menjadi laten di Mandar setidaknya
sejak Tokape Maraqdia
Balanipa memulainya di abad ke-19. Baharuddin Lopa menggambarkannya
seperti yang dituturkan oleh Hasan Latief, bekas Kepala Distrik
Tenggelang, 13 juni 1931. Sampai dengan tahun 1932 perlawanan
orang-orang Mandar terhadap penjajahan Belanda masih terjadi terus
meskipun kecil-kecilan. H. Maata mendatangi kantor Controleur di
Polewali menyatakan protes keras kepada pejabat pemerintah kolonial.
Semestinya dia sendiri yang memerintahkan langsung kepada penduduknya.
Akibat peristiwa itu beberapa tokoh penduduk Desa Pambusuang ditangkap
oleh pemerintah kolonial. Semestinya dia sendiri yang memerintahkan
langsung kepada penduduknya. Akibat peristiwa itu beberapa tokoh
penduduk Desa Pambusuang ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda
dengan tuduhan berkomplot dengan Kepala Desa H.Maata melakukan
pembangkangan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Peristiwa Bendera Merah Putih di Tinambung
- Tanggal 15 Januari 1946,
Pada
peristiwa Bendera Merah Putih ini, Ibu Andi Depu (pahlawan Mandar)
memeluk tiang bendera Merah Putih, merupakan sepak terjang penentangan
langsung Ibu Andi Depu terhadap tentara Belanda yang ingin menurunkan
bendera Merah Putih yang sedang berkibar di depan istana Kerajaan
Balanipa (kerajaan terbesar di Sulawesi Barat pada saat itu) di
Tinambung. Istana yang sekaligus dijadikan salah satu markas komando
perjuangan rakyat Mandar mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia,
dua hari sebelum Peristiwa Bendera Merah Putih di Tinambung,
- Tanggal 13 Januari 1946,
Aparat
NICA telah mengibarkan bendera Belanda di dalam tangis KNIL di Majene.
Dengan dukungan Sekutu, 1 Januari 1946 aparat Belanda menurunkan
bendera Merah Putih di semua tempat dalam wilayah Majene. Sampai
kemudian Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran Tonyaman dan rentetan peristiwa dan pertempuran berikutnya sampai bulan Desember 1946
- Tanggal 16 Agustus 1946,
Yakni
pertempuran antara para pemuda/pejuang di bawah pimpinan Pangiu dan
Nyompa melawan pasukan KNIL/NICA di bawah komando Controleur Polewali
G.J.Monsers di daerah Tonyaman Polewali. Pejuang bersenjatakan bambu
runcing, keris, badik dan parang panjang melawan pasukan KNIL/NICA yang
mempergunakan senjata api. Controleur Polewali G.J.Monsers dan beberapa
pengawalnya terbunuh. Pejuang merampas satu pucuk pistol dan senjata
Ouwengun.
- Tanggal 17 Agustus 1946,
Satu peleton tentara NICA/KNIL menangkapi semua laki-laki dewasa yang ada di Tonyaman. Disiksa habis-habisan.
- Tanggal 18 Agustus 1946,
Pasukan
KNIL/NICA melancarkan serangan balasan terhadap markas pemuda/pejuang
di Silopo. Pangiu dan kawan-kawan memberikan perlawanan mati-matian.
Pabi, pemuda pejuang gugur. Padara, Sida, Mada, dan Pungga Sampe luka
parah dan tertangkap. Markas pejuang dibakar habis oleh musuh.
- Pada awal September,
Di
bawah pimpinan Ambo Damma, para pejuang menyerang markas musuh di
Bungin, lima orang gugur yaitu Amba, Tanai, Billa, Badusama, dan
Mangundang. Pertengahan September, pasukan Pangiu Komandan Kompi III
melakukan penghadangan di Mirring Polewali. Penghadangan tidak berhasil.
Granat yang dilemparkan jatuh di belakang mobil musuh. Beberapa orang
rakyat yang kebetulan ada di sekitar daerah penghadangan ditangkap,
disiksa dan dibunuh oleh pasukan musuh.
- Pada akhir bulan September,
Pangiu
menyerang mata-mata musuh di Binuang yang dipimpin oleh Wa Saira. Wa
Saira pun terbunuh juga. Awal Oktober para pejuang di bawah pimpinan
Nyompa menyerang mata-mata musuh dan pos polisi NICA di Paku. Beberapa
orang mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh.
- Tanggal 7 Oktober 1946,
Terjadi
pertempuran antara para pejuang yang dipimpin Masse dan Landi dengan
serdadu KNIL di Kalosilosi. Empat orang pejuang gugur, yaitu dipimpin
Masse, Tangnga, Reken, dan Kadongboli. Di pihak musuh empat orang
mata-mata ditangkap, dibawa ke Riso,Tapango, diadili dan dibunuh.
- Tanggal 8 Oktober 1946,
Serdadu
KNIL menyerangan markas pejuang di Tabone. Empat orang pejuang gugur
yaitu Lattone, La Runa, Tola dan Tabara (seorang perempuan tukang
masak). Beberapa orang terperangkap antara lain Onjang, Apo dan Tanah.
- Tanggal 10 Oktober 1946,
Para
pejuang mengadakan pertemuan di Kelapadua. Merencanakan penyerangan
umum terhadap musuh di kota Polewali pada tanggal 12 Oktober.
- Tanggal 12 Oktober 1946,
Dipimpin
oleh Controleur Polewali Yonasse, serdadu KNIL mendadak menyerang
markas pejuang Kompi II di Kelapadua. Dua puluh satu orang pejuang gugur
dan beberapa orang ditangkap. Markas pejuang dibakar musuh.
- Tanggal 13 Oktober 1946,
Pasukan
KNIL menangkap Badu di Kelapadua. Badu sama sekali tidak mau
menyebutkan tempat persembunyian kawan-kawannya sesame pejuang. Badua
ditembak mati.
- Tanggal 14 Oktober 1946,
Berdasarkan
informasi dari seseorang pengkhinat, serdadu KNIL mengetahui lokasi
dan menyerang markas pejuang di Gua Salu Bayo. Dalam pertempuran,
Komandan Kompi II Tarrua gugur bersama kedua puteranya, Sampeani dan
Lira. Pertengahan November, pemimpin tertinggi perjuangan wilayah
Polewali Andi Hasan Mangga tertangkap.
- Tanggal 3 Desember 1946,
Di
bawah pimpinan H. Umri dan Nyompa para pejuang melakukan penyusupan
besar-besaran ke dalam Kota Polewali untuk melaksanakan penyerangan
terhadap kantor Controleur/NICA, markas
polisi NICA, dan penjara Polewali. Para pejuang juga melakukan
aksi-aksi lainnya mengganggu musuh. Aparat KNIL dan polisi NICA
menangkapi Andi Hasan Mangga, Alex Pattola, Pene Dg Pasanre, H.Ummarang,
La Hamma, Pangiu, Tamalino, Nongngo, Salampang, Panikkai, Labulan, La
Gante, Ati Dg Patoangin, Tonang, Manangi, Panjang, Pama, dan Kati.
Sebagian besar ditembak mati dan yang lainnya dipenjarakan. Untuk
mengenang, menghargai, menghormati jasa-jasa mereka dibangunlah Monumen
Bambu Runcing/Tiga Pahlawan Pejuang Kemerdekaan, dan Monumen Perjuangan
45. Keduanya berada di kota Polewali, kab. Polman.
Peristiwa Tololoq dan Peristiwa Galung Lombok
Masyarakat Mandar menyebutnya Panyapuang
(penyapuan) di Galung Lombok (Desa Galung Lombok, Kec. Tinambung, Kab.
Polman sekarang). Pembantaian massal yang dilakukan oleh pasukan
Westerling terhadap rakyat Indonesia dari daerah Baruga, Tande, Simullu,
Banggae dan sekitarnya (Kab.Majene sekarang) dari daerah Tinambung dan
sekitarnya (Kab.Polman sekarang). Pembantaian ini berlangsung 1
Februari 1946 dan menewaskan rakyat dan para pejuang. Kurang lebih 700
orang, termasuk 32 orang tawanan anggota pejuang dari penjara Majene.
Latar belakang terjadinya Peristiwa Galung Lombok karena Belanda sama
sekali tidak leluasa kembali berkuasa di daerah Mandar. Belanda
mendapat perlawanan keras dari rakyat Mandar. Para pejuang yang
tergabung dalam organisasi perjuangan KRIS-Muda bahu membahu dengan
para pejuang yang membentuk kelas kerang GAPRI 5.3.1 melakukan aksi
mengganggu dan melawan Belanda. Belanda pun kewalahan. Perlawanan
rakyat semakin sulit dipatahkan. Pasukan berbaret merah yang dikenal
dengan sebutan Detachement Speciale Troepen (DST) beranggotakan 123 orang di bawah pimpinan Letnan Satu Raymond
Pierre Westerling dikirim oleh pemerintah Belanda dari Batavia ke
Sulawesi Selatan dan Barat untuk membina para pejuang untuk memadamkan
semangat perjuangan Tetap Merdeka. Westerling memperoleh laporan,
kantong-kantong perjuangan rakyat Sulawesi Selatan dan Barat merata di
Afdeling Makassar, Pare-Pare, Bonthain, dan Mandar.
- Tanggal 11 Desember 1946,
Letnan Gubernur General Dr.H.J.Van Mook di Batavia mengumumkan keadaan darurat perang (SOB) untuk Afdeling Makassar, Pare-Pare, Bonthain, dan Mandar.
- Tanggal 1 Februari 1947,
Pasukan
Westerling di bawah pimpinan Stufkens dan Vermulen mengepung kampung
Baruga, Simullu, Segeri, Lembang, Tande (di kab.Majene) dan sekitarnya,
Tinambung, Kanreapi, Lawarang (Kab.Polman) dan sekitarnya. Untuk
menakut-nakuti rakyat, pasukan Belanda membakar beberapa rumah rakyat.
Penduduk pada kampung-kampung tersebut dikumpulkan lalu digiring ke
Galung Lombok. Di tempat itu perempuan dan anak-anak dipisahkan dari
laki-laki. Kemudian pasukan Westerling mengadakan “pengadilan singkat”
untuk mengetahui siapa di antara mereka yang di mata Belanda dicap
Ekstremis. Untuk mengetahui secara pasti siapa anggota organisasi perjuangan
GAPRI 5.3.1., KRIS Muda,TRIPS dan ALRI, Stufkens dan Vermuelen
mendatangkan 32 orang tawanan anggota pejuang dari penjara Majene,
sekitar 10 km dari Galung Lombok. Mereka dipaksa menunjuk siapa di
antara massa yang hadir yang menjadi anggota pejuang atau simpatisan
pejuang. Mereka menutup mulut rapat-rapat. Karena tentara Belanda tidak
berhasil memaksa mereka membuka rahasia, mereka dijejerkan dan
ditembak satu persatu. Selanjutnya penembakan dan pembunuhan ditujukan
kepada para pemuka masyarakat yang diduga membantu para pejuang. Kepala
Distrik dan pemuka-pemuka masyarakat Baruga, Tande, Simullu, dan
lain-lain satu persatu menemui ajal. Sementara penembakan missal
terjadi di Galung Lombok, Pasukan GAPRI 5.3.1. di bawah pimpinan Basong
yang berada di markas pejuang di Pumbeke, segera berangkat ke Segeri
menyusul menyusul kawan-kawannya. Pasukan Westerling tidak juga muncul,
pada hal mereka sudah lama menunggu. Di Talolo terjadi kontak senjata
dengan pasukan Belanda yang sedang patroli. Seorang tentara Belanda
hendak memperkosa seorang wanita, dicegah olah Harun dan Habin anggota
pasukan pimpinan Basong. Pada pertempuran singkat di Talolo dua orang
anggota pasukan GAPRI.5.3.1. gugur yaitu Sukirno dan Yonggang. Di pihak
tentara Belanda terbunuh Dickso, Van Feuw, dan seorang lagi yang tidak
diketahui namanya. Sesudah pertempuran singkat, Tanne bersama
pasukannya datang untuk membantu kawan-kawannya. Tiba-tiba sebuah mobil
pasukan Westerling datang. Pasukan Tanne melempar mobil itu dengan
granat dan mobil itu pun terbalik masuk jurang. Begitu
Stufkens dan Vermuelen mendengar 3 orang anak buahnya dan mobil
pasukannya masuk jurang, keduanya langsung naik darah. Maka terjadilah
pembantaian massal rakyat di Galung Lombok yang tadinya hanya pengadilan
massal mencari para pejuang. Rakyat yang tidak berdosa banyak yang
jadi korban. Pembunuhan berlangsung sekitar 07.00 pagi sampai pukul
17.00 sore. Di sore dan malan hari dilaksanakan penguburan seadanya
oleh kerabat mereka yang masih hidup dan rakyat yang dipaksa oleh
pasukan Westerling. Banyak pejuang dari organisasi perlawanan KRIS
Muda, GAPRI 5.3.1., pasukan ekspedisi pejuang dari Kalimantan yang
gugur. Untuk mengenang dan sebagai penghormatan kepada mereka dibangun
Monumen Korban 40.000 Jiwa Galung Lombok di Desa Galung Lombok, kec.Tinambung, Kab.Polman.
Peristiwa Pembantaian di Pamboang
- Tanggal 5 Februari 1947,
Peristiwa
sejarah ini dilakukan oleh tentara KNIL, menewaskan 35 orang pahlawan
termasuk tawanan dari Majene. Diantara korban gugur ialah Kepala
Distrik Pamboang, Kepala Desa, dan Polisi Kampung. Sebelum ditembak
mati, ada yang disiksa sehebat-hebatnya. Telinga, hidung, dan kemaluan
dipotong.
Mandar di masa penjajahan Jepang
Sama
dengan daerah-daerah lainnya di Sulawesi Selatan. Merasakan tekanan,
penindasan, dan penderitaan yang sangat besar. Para bekas/pemimpin
partai dan pejuang kemerdekaan di Majene, Pamboang, Polewali, dan di
tempat-tempat lainnya ditangkap oleh Belanda. Ditahan di Majene sekitar
dua sampai tujuh hari lamanya, kemudian dilepaskan dengan perintah agar
benar-benar membubarkan semua partai, pergerakan-pergerakan, dan
sekolah-sekolah partikelir (swasta) yang ada, disertai ancaman sanksi
yang berat apabila tidak dijalankan. Mulai berlaku kekuasaan main pukul
dan main hakim sendiri terhadap siapa saja yang dianggap bersalah,
walaupun kesalahan itu hanyalah kesalahan kecil.
Dalam kesulitan hidup yang berat dan perlakuan sewenang-wenang muncul
kelompok pemberani di Kerajaan/Distrik Allu di bawah pimpinan Muhammad
Saleh Puanna I Su’ding (lebih dikenal dengan nama Hamma’ Saleh Puanna I
Su’ding). Dia dan kawan-kawan melakukan perlawanan bersenjata terhadap
pemerintahan Jepang pada bulan Maret 1945. Dimulai dengan soal
penagihan pajak yang tidak ditaati oleh mereka. Mereka memilih
mengembara di hutan-hutan. Sesekali menyerang polisi Jepang dan
menewaskan para polisi Jepang tersebut sedkit demi dekit hingga
Indonesia menyatakan kemerdekaannya!..